Salah satu anugerah terindah dan begitu bermakna dalam hidup
ini adalah cinta. Usia cinta adalah setua usia manusia sejak diciptakan di atas
dunia. Dengan cinta kehidupan manusia menjadi terhiasi dan menjadi
berwarna-warni. Namun di sisi lain, cinta adalah ibarat pedang bermata dua. Ia
bisa menghantar menuju kebahagiaan dan bisa pula membawa kesengsaraan.
Tergantung bagaimana manusia itu sendiri dalam memaknai dan menjalani cinta
tadi. Cinta pada dasarnya suci dan fitrah. Hanya sisi nafsu manusialah yang
kerap membelokkan makna cinta yang sesungguhnya.
Adam yang tercipta dan ditempatkan di taman Eden dengan
segala fasilitasnya yang luar biasa, toh juga merasa kesepian dan membutuhkan
teman hidup untuk mendampinginya untuk mencurahkan rasa cinta dan hasratnya.
Apa yang menjadi keinginan Adam akhirnya dikabulkan oleh Allah SWT dengan
menciptakan Hawa atau Eve dari tulang rusuk kiri Adam. Mereka pun menjadi
pasangan suami-istri pertama dari spesies yang dikenal dengan nama manusia atau
human ini. Cinta Adam dan Hawa adalah cinta yang dituntun oleh Sang Pencipta.
Meski Adam tidak disepakati sebagai Rasul pertama, tapi yang
pasti semua kitab samawi menceritakan bahwa cinta mereka adalah cinta yang
terjalin dalam pernikahan, yang artinya berada dalam tuntunan ajaran Allah SWT.
Namun setelah manusia turun-temurun dari generasi ke generasi, kedurhakaan dan
penyimpangan pun mulai terjadi, tidak terkecuali dalam perihal cinta dan relasi
antar manusia dengan lawan jenisnya. Tak ada yang tau pasti sejak kapan muncul
yang namanya perilaku zina, perselingkuhan dan pelacuran itu. Wallahu A’lamu bi
dzalik.
Agama menegaskan bahwa perbuatan zina dengan segala polanya
semisal kumpul kebo, perselingkuhan, pelacuran, hingga pemerkosaan, sebagai
perbuatan mungkar dan dosa besar. Agama mensyariatkan pernikahan agar manusia
menjalin cinta dan kasih sayang dengan pasangannya sehingga membuahkan
ketentraman hidup. Para pembawa agama Allah tidak hanya memberitakan pentingnya
pernikahan, tetapi mereka juga menjalaninya. Sunnah dan ajaran pernikahan itu
bersifat manusiawi, fitrah dan indah
Oleh karena cinta merupakan anugerah dari Sang Pencipta,
maka Dia pula yang berhak menentukan dan menetapkan segala hukum yang terkait
dengan cinta manusia, bukan manusia sendiri dengan ukuran nafsunya. Agama
memberikan garis-garis yang membatasi manusia dalam mengartikan dan
merepresentasikan makna dan praktik cinta yang dibolehkan maupun yang dilarang.
Tentu saja hal itu dalam rangka agar manusia bisa menjaga anugerah cinta yang
diterimanya untuk menjadi sumber kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan
yang didasarkan pada nilai-nilai yang berpulang pada keridhoan Sang Pencipta.
Cinta yang didasarkan pada nilai-nilai aturan Allah akan
menjadi cinta yang abadi, yang tidak akan pudar atau putus hanya oleh pisahnya
sukma dari raga orang yang saling mencintai. Cinta itu akan abadi dan berlanjut
di alam baka. Ikatan Syariat terhadap cinta akan menjadi ikatan yang menyatukan
suami-istri hingga ke dalam surga ukhrawi. Bahkan hal itu berlaku bagi cinta
seseorang terhadap orang yang tak pernah ditemuinya secara langsung, misalnya
karena mereka dari generasi atau bahkan abad dan milenium yang berbeda.
Rasulullah SAW bersabda perihal cinta yang demikian yang artinya :
“Berkata Abdullah bin Mas’ud RA, Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang seseorang yang mencintai kaum tapi dia tak pernah bertemu dengan mereka?’ Rasulullah SAW lantas bersabda, ‘Seseorang itu (akan) bersama orang yang dicintainya (di akhirat kelak).’” (HR Al-Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Mas’ud RA).
“Berkata Abdullah bin Mas’ud RA, Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang seseorang yang mencintai kaum tapi dia tak pernah bertemu dengan mereka?’ Rasulullah SAW lantas bersabda, ‘Seseorang itu (akan) bersama orang yang dicintainya (di akhirat kelak).’” (HR Al-Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Mas’ud RA).